Sunday, June 13, 2010

Dhadhungawuk, Seni Pertunjukan

Seorang tokoh raksasa dari bala-tentara Batari Durga yang tinggal di hutan Krendhayana. Suatu ketika, ia diberi tugas untuk mengembalikan Sudanu (kerbau) yang berjumlah
40 ekor. Seluruhnya berwarna hitam dengan kaki berwarna putih. Dhadung Awuk pernah menolak Sang Bima saat akan meminjam kerbau tersebut, namun setelah terjadi perkelahian dan Dhadhungawuk dapat dikalahkan oleh Sang Bima. Ia menyerahkan kerbau-kerbau tersebut, bahkan ia sendirilah yang menjadi pawangnya.

Setelah terlebih dahulu meminta ijin kepada Batari Durga. Dhadhungawuk merupakan salah
satu tokoh dalam kesenian Srandhul.

Di Kotagede seni ini pernah menjadi kegemaran masyarakat, tetapi kini sudah tidak pernah dipentaskan lagi.

Demang

Disebut juga sebagai Kiyai Lurah, yaitu aparat pemerintah di tingkat desa yang diberi tanggung jawab sebagai pejabat pemerintahan atau kerabat raja dan diberi gaji berupa hakk mengelola tanah lungguh.

Delabo

Singkatan dari Pandeyan, Dolahan, dan Boharen. Delabo adalah nama kelompok kesenian macapat dari Kotagede yang merupakan gabungan dari ketiga kampung tersebut.

Danalaya, Taman

Taman yang dibangun sebagai kelengkapan Keraton Mataram oleh Panembahan Seda ing Krapyak. Meskipun secara fisik tidak dapat dijumpai lagi, namun beberapa sumber menyebutkan bahwa di Kotagede terdapat taman kerajaan yang disebut dengan Taman Danalaya.

Taman Danalaya dibangun oleh Panembahan Seda ing Krapyak pada tahun Dal 1527 Jawa (1605M). Pembangunan taman kerajaan sebagai kelengkapan sebuah keratonbukan hanya ada di Kotagede, beberapa kerajaan sebelumnya, seperti Majapahit dan Demak menurut
para ahli juga dilengkapi dengan taman kerajaan.

Taman Danalaya berlokasi di sebelah selatan Kotagede ketika menjadi ibukota Keraton Mataram.

Danalaya, Kampung

Merupakan nama sebuah kampung yang letaknya di sisi selatan dari Kotagede. Sebelum berkembang menjadi kampung seperti adanya sekarang, Danalaya pada walnya dahulu merupakan sebuah taman rekreasi raja (lihat: Danalaya, Taman).

Dalem, Kampung

Pada awalnya dahulu merupakan tempat tinggal bagi golongan bangsawan dan elit politik. Oleh karena itu letak dalem biasanya dekat dengan keraton. Pada saat ini daerah dalem merupakan Kompleks Pasareyan Hastarengga, yakni kompleks makam para bangsawan dari masa berikutnya setelah palihan negari, yakni para keturunan/ sentana raja Sultan HB-VIII dari Kasultanan Yogyakarta.

Bahwa Kampung Dalem berada diarea Keraton ditunjukkan dari keberadaan properti utama raja diTempat tersebut, raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Selain itu, di areal itu terdapat pula watu gilang,watu cantheng, lapik arca, dan sebuah tempayan batu (lihat entri: watu gilang, watu cantheng).

Dalem, Omah

Disebut juga omah jero atau griya ageng, merupakan bagian inti dari rumah Jawa yang menjadi tempat hunian keluarga. Posisi dalem dalam tata letak rumah Jawa berada
di belakang pendapa. Di dalam dalem terdapat ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang duduk keluarga, serta tiga senthong atau kamar di sisi belakang, yakni senthong kiwa, senthong tengah atau pasren atau patanen, dan senthong tengen (lihat juga entri senthong).

Chirzin, M. Habib

Seorang tokoh hak azasi manusia, dari Kotagede. Kegigihannya dalam meperjuangkan hak – hak azasi manusia, ditunjukkan dengan kedudukannya sebagai komisioner Komite Nasional Hak Azasi Manusia. Drs.M.Habib Chirzin, juga menjadi tokoh dalam kegiatan dialog keIslaman, dengan menduduki jabatan sebagai President, Islamic Millenium Forum
for Peace and Dialoque. Kedudukannya sebagai pejuang hak azasi manusia, semakin menambah peran tokoh-tokoh Kotagede yang berbicara di forum nasional maupun internasional

Saat ini Drs. M.Habib Chirzin bertempat tinggal di Jl. Kramat IV No 4 Jakarta Pusat.

Chirzin, Muhammad

Seorang tokoh Muhammadiyah Kotagede. Pada zamannya pernah menjabat sebagai sekretaris Masyumi di bawah kepemimpinan Haji Masyhudi. (Lihat: Masyhudi, Haji).

Muhammad Chirzin memberi pengaruh yang besar dalam pengembangan Islam di Kotagede dalam kedudukannya sebagai pimpinan takmir Mesjid Perak pada tahun 1958 selama sepuluh tahun.

Pada tahun 1949 Muhammad Chirzin menggiatkan pengajian menjelang berbuka puasa. Kemudian membentuk majelis lajnah dengan dukungan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede, bersama H. Ridha, dan Zuhri Hasyim, menyeragamkan doa-doa yang sebelumnya bermacam-macam, menjadi bacaan do’a yang sama untuk masyarakat muslim di Kotagede.

Monday, June 7, 2010

Cermo Supardi Mujihartono, Ki Dhalang

Adalah salah satu dhalang wayang thingklung dari Kotagede. Dia lebih akrab dipanggil Kang
Mujiran.

Pertama kali pentas pada sekitar tahun 1989, di saat peresmian pembangunan Kampung Karang-duren (Kotagede). Kang Mujiran mengaku bukan perintis wayang thingklung. Namun kepeduliannya untuk melestarikan wayang thingklung, menjadikannya tokoh pelestari
seni-budaya dari Kotagede.

Pada tahun 1960-an di Kampung Semoyan ia melihat pertunjukan wayang thingklung dan dhalangnya sudah tua, nama Ki Dhalang yang mementaskan sudah tidak dapat diingatnya lagi. Ketika itu, berawal dari hobinya mengoleksi wayang-wayang kulit tersebut, timbulah niatnya untuk mencoba dan belajar mendalami seluk beluk dunia pewayangan. Hobi
mengkoleksi wayang yang diperoleh dengan membeli di Pasar Legi Kotagede dari bahan kerdus (karton). Kini koleksi wayang kulitnya sudah komplit satu kothak, berkat ketekunannya menabung sedikit demi sedikit, hanya untuk mewujudkan impiannya memiliki
koleksi wayang yang lengkap.

Pengalaman pentas Ki Cermo Supardi Mujihartono, alias Kang Mujiran sudah cukup banyak, walaupun masih sebatas seputar kampungnya, antara lain di Karang-duren,
Mrican, Semoyan, Pondhongan, Ndalem, Alun-alun Kotagede, Sayangan, dan Pura Pakualaman.

Saat ini, Kang Mujiran hidup menetap di tempat kelahirannya, Kampung Karangduren
Kotagede.